Makalah Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Dan Progresivisme




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Waktu terus berjalan, pendidikan pun terus berkembang bersama hiruk pikuk hidup dan kehidupan insan. Problem-problem pendidikan pun bermunculan begitu cepat secepat cendawan tumbuh di musim hujan. Ilmu pendidikan bertanggungjawab untuk memecahkan problem-problem tersebut, untuk itu tidaklah ringan tanggung jawab yang diembannya karena begitu kompleks problem-problem yang ada di dunia pendidikan. Tak jarang ilmu pendidikan pun meminta pertolongan pada pihak lain, pihak filsafat pendidikan karena problem yang dihadapi berada di luar kaplingnya dan sudah memasuki wilayah atau lingkaran hakikat. Manakala problem pendidikan memasuki lingkaran yang substansial atau filosofis kiranya ilmu pendidikan menyerahkan garapan itu pada filsafat pendidikan. 
Filsafat pendidikan akan menjawab secara filosofis atas pertanyaan filosofis yang muncul dari belahan dunia pendidikan. Menurut A. Chaedar Alwasilah: Filsafat Pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari pendidikan (Chaedar, 2008:101). Menurut Al-Syaibany: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Hal senada dikatakan Hasan Langgulung: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, dan menerapkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Sedang George R. Knight mengatakan: Filsafat Pendidikan tidak berbeda dengan filsafat umum, ia merupakan filsafat umum yang diterapkan pada pendidikan sebagai sebuah filsafat spesifik dari usaha serius manusia . Berdasar pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah ilmu yang membahas pendidikan secara filosofi, atau ilmu yang membahas secara filosofi mengenai pendidikan.

B.     Tujuan
  1. Untuk mengetahui tentang Aliran Filsafat Pendidikan  Eksistensialisme
  2. Untuk mengetahui tentang Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aliran Filsafat Pendidikan  Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang diri?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.[1]
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche (1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu “bagaimana cara menjadi manusia unggul”. Jawabannya adalah manusia bi sa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialismeadalah suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealism adalah manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontology, eksistensialisme banyak mempersoalkan makna keberadaan manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat kebebasan. Oleh karenanya, pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu bersinggungan dengan persoalan kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? Eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean Paul Sartre, dengan diktumnya “human is condemned to be free”. Manusia demikian menurut Sartre, dikutuk untuk bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini, pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasan eksistensialis : sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia. Maka, batasan kebebasan setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar betapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita menjadi dokter atau lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri. Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua, yaitu kesadaran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif adalah kesadaran aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran reflektif adalah kesadaran akan diri. Selama seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif. Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut eksistensialisme, ada dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif. Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu. Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita.[2]
1.      Eksistensialisme Dalam Pendidikan
a.       Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
b.      Nilai
Pemahaman eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
c.       Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia
d.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
e.       Kurikulum
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum  yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri. Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya. Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyhur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
f.       Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi penguasanya. Selanjutnya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
g.      Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka. Guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi faktor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya. Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.[3]

B.     Aliran Filsafat Pendidikan Progressivisme
  1. Pengertian
Progresivisme adalah suatu aliran  yang menekankan  bahwa pendidikan bukanlah  sekedar pemerian  sekumpulan pengetahuan kepada peserta didik  tetapi hendalah  berisi akivitas-aktivitas  yang mengarah pada  pelatihan kemampuan  berpikir meraka  sedemikian rupa  sehingga mereka dapat berfikir  secara sistematis  melalui cara-cara ilmiah  seperti memberikan analisis, pertimbangan dan pembuatan kesimpulan  menuju pemilihan  alternative yang paling memungkinkan  untuk pemecahan  masalah yang dihadapi.[4]
Pengertian dasar yang menjadi cirri dari aliran ini adalah progress, yang berarti maju. Progressivisme lebih mengutamakan perhatiannya ke masa depan, kurang memperhatikan ke masa lalu. Ciri utama aliran ini ialah bahwa aliran ini memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya dengan keterampilan dan kekuatan sendiri. Dan dengan kemampuan itu manusia dapat memecahkan semua problemanya secara intelligent, dengan intelegensi aktif. Aliran progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
Progressivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian. Dalam pendapat lain, progressivisme berpendapat bahwa suatu keterangan itu benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan realitas, atau suatu keterangan akan dikatakan benar, kalau kebenaran itu sesuai dengan kenyataan. Aliran progressivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang meliputi Ilmu hayat, bahwa manusia mengetahui kehidupan semua masalah. Antropologi yaitu bahwa manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, dan pengalaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, serta dapat menguasai dan mengaturnya. Filsafat pendidikan Progressivisme dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20. Progressivisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.
Salah seorang bapak pendiri filsafat progressivisme, Dewey mengembangkan progressivisme dalam bentuknya yang orisinil, tapi meskipun demikian, namanya sering pula dihubungkan terutama sekali dengan versi pemikiran yang disebut instrumentalisme. Adapun ide filsafatnya yang utama, berkisar dalam hubungan dengan problema pendidikan yang konkrit, baik teori maupun praktek. Dan reputasi (nama baik) internasionalnya terletak dalam sumbangan pikirannya terhadap filsafat pendidikan Progressivisme Amerika. Dewey tidak hanya berpengaruh dalam kalangan ahli filsafat profesional, akan tetapi juga karena perkembangan idenya yang fundamental dalam bidang ekonomi, hukum, antropologi, teori politik dan ilmu jiwa. [5]
  1. Prinsip-Prinsip Progresivisme
a.       Berakar pada  Pragmatisme, yang orientasinya kepada mahasiswa
b.      Sasaran pendidikan adalah meningkatkan kecerdasaan praktis  dalam rangka  edfektifitas  pemecahan masalah yang disajikan melalui  pengalaman.
c.       Nilai bersifat relativ
d.      Manusia mempunyai kemampuan  yang wajar dan tepat menghadapi dan mengatsi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberadaan manusia.
e.       Filsafat ini menaruh kepercayaan  terhadap kekuatan alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir. Maksudnya manusia  sejak lahir  telah membawa  bakt dan kemampuan  atau potendi dasar terutama  daya akalnya, dengan akal manusia dapat   mengatasi segala  problematika hidupnya baik itu  tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan  yang timbul dari lingkungan  hidupnya.
  1. Implementasi dalam pendidikan
a.       Progresivismejkurang menyutujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun sekarang. Karena pendidikan yang bersifat otoriter  mempunyai kesulitan  untuk mencapai tujuan yang baik, karena kurang menghargai dan  memberikan tempat  semestinya kepada kemampuan peserta didik. Dalam proses pendidikan.
b.      Progresivisme tidak mengakui   kemutlakan kehidupan, menolak absolutisme dan otoritarisme dalam segala bentuknya.
c.       Progresivisme yang meletakkan dasar  pada penghormatan yanng bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Dengan  demikian filsafat  progresivisme, menjunjung tinggi hak asasi  incividu dan menjunjung tinggi  akan nilai demokrasi.[6]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Filsafat Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari atau membahas pendidikan secara filosofis. Filsafat dan filsafat pendidikan memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, filsafat melandasi dan melatarbelakangi lahirnya filsafat pendidikan. Senada juga filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang berkait, filsafat menjadi kerangka dasar yang melandasi praktik pendidikan, dan pendidikan menjadi media aktualisasi konsep-konsep filsafat.
Demikian pula filsafat pendidikan dan pendidikan memiliki hubungan timbal-balik yang saling membangun dan menguntungkan untuk kemajuan dunia pendidikan yang terus berkembang pesat, filsafat pendidikan sebagai landasan filosofis, kaidah nilai dan pola pelaksanaan pendidikan, dan pendidikan menjadi bahan pemecahan filsafat pendidikan. Paham pragmatis memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk fisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita.  Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya.
Aliran progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
B.     Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbangsi pikiran dari para pembaca demi penyempurnaan makalah ini.


                                                    DAFTAR PUSTAKA

Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003)
Peter Soedojo, Pengantar Sejarah Dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004)
Amsal amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2009)
Prof DR H. Ramayulis, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia,  2010)

  



[1] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 123.
[2]Peter Soedojo, Pengantar Sejarah Dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hal.59.

[3] Amsal amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh, 2009), hal.61-62.
                [4] Prof DR H. Ramayulis, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kalam Mulia,  2010), hal. 40
                [5] Amsal amri, Studi Filsafat Pendidikan ............., hal. 64
                [6] [6] Prof DR H. Ramayulis, dkk, Filsafat Pendidikan,.........................., hal. 41-42
Bagikan :
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Makalah Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Dan Progresivisme"

 
Copyright © 2018 Online ! ! - All Rights Reserved
Template By Kibitz
Back To Top